Jumat, 06 Juni 2014

Drama 7 Prinsip (Kemanusiaan)



Tanah Longsor
By : Rini Lusiana. Edited by : Nabilla Yashinta

Di lereng Gunung Dempo, terdapat sebuah pedesaan yang cukup ramai. Dahulu di desa itu terdapat banyak sawah dan hutan resapan air. Namun sekarang semua itu telah berkurang sedikit demi sedikit, mengikuti kata pepatah. Bukan berkurang dengan sendirinya, tapi karena ada ulah tangan kejam manusia yang menebang hutan secara berlebihan demi kepentingan duniawi tanpa melakukan reboisasi. Jika begini, maka, yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin.

Sore itu, Siti Anisa seorang gadis polos yang berasal dari keluarga sederhana sedang duduk berdua di depan rumahnya dengan Ali Putra yang notabene berasal dari keluarga yang kaya di desanya.
Ali               : lihatlah anisa, semakin banyak saja bangunan villa dan cafĂ© di tempat ini.
Anisa          : ya tentu, di desa ini kan sejuk, asri dan jarang tertimpa bencana, pasti para pengusaha kaya banyak yang memanfaatkan keindahan daerah ini.
Ali               : betul juga pendapatmu. Hmmm. (menghela napas)  Sepertinya kita akan segera berpisah, Anisa.

Anisa          : Lho, kenapa bicara seperti itu?
Ali               : Begini, dua hari lagi aku beserta keluarga akan pindah ke tempat yang lebih aman. Daerah sini akan jadi daerah rawan longsor.
Anisa          : Bagaimana bisa? Kita berdua sudah tinggal di sini sejak kecil, dan selama itu belum pernah ada kejadian tanah longsor, bukan?
Ali               : Itu kan dulu. Anisa, buka matamu! Lihat sekelilingmu! Pohon sudah banyak yang ditebang dan tanah di lereng gunung ini sudah banyak yang gundul. Sebentar lagi musim hujan akan tiba. Potensi terjadinya tanah longsor akan semakin besar.
Anisa          : (sedih) Aku tidak bisa mempercayai itu.
Ali               : Tapi itu semua kenyataan, Anisa. Aku mengerti perasaanmu, tapi-(belum sempat berkata apapun)
Sulastri       : (menjewer telinga Ali) Ternyata kamu di sini, ya! Dasar anak bandel! Ibu sedang sibuk mengemasi barang-barang kamu malah pacaran di rumah orang. (nunjuk Anisa) Kamu Juga! Jangan menggoda anak lelaki orang dong!
Anisa          : Tapi kami tidak pacaran, Bu (takut)
Sulastri       : Sudahlah, jangan mengelak!
Ali               : Ibu jangan sembarangan nuduh. Kami memang tidak pacaran, Bu. Kami hanya bersahabat dari kecil.
Anisa          : (diam dan menunduk penuh sesal)
Sulastri       : Alah.. (bersiap memaki) (belum sempat berbicara apapun)
Erni             : (keluar dari dalam rumah) Ehhh!! Jangan seenaknya marah-marah ke anak orang dong!
Sulastri       : Lha, memang anak kamu menggoda anak saya!
Erni             : Enak saja! Anak saya tidak mungkin seperti itu. Anak kamu tuh yang seenaknya datang kemari lalu mengajak anak saya mengobrol.
Sulastri       : Susah, ya, bicara dengan orang miskin. Sudahlah, ayo, Ali! Kita pulang!
Ali               : I-iya, Bu.
(Kemudian, Ali dan Sulastri pergi)
Erni             : Dasar! Kaya tapi sombong, tidak akan berkah tuh hartanya!
(menjewer Anisa) Kamu juga, kok mau jadi pacar Ali. Sudah tahu tabiat keluarganya jelek tapi masih saja tidak mendengarkan kata-kata ibu.
Anisa          : Kami tidak berpacaran, Bu. Hanya bersahabat dari kecil. Lagipula Ali tidak seperti orangtuanya, bu. Dia baik dan tidak sombong.
Erni             : Itu kan biar bisa mengambil hati kamu saja. Sudah, kamu masuk, gih!
Anisa          : Iya, bu.
(*) Setelah perdebatan itu, datanglah beberapa petugas PMI
PMI 1          : para warga, disini kami akan memberi penyuluhan tentang bencana longsor yang kemungkinan terjadi di daerah ini.
Erni             : ah, mana mungkin sih, mbak? Sudah bertahun-tahun kita tinggal disini dan belum pernah terjadi tanah longsor. Iyakan ibu-ibu?
Para Warga     : iya – iya, betul itu.
Sulastri       : eh sudah, sudah. Diam kamu Erni, kita dengarkan saja penyuluhan dari mbak – mbak PMI ini.
( petugas PMI memberi penyuluhan)
Sulastri       : mbak, apa yang harus kita lakukan saat terjadi longsor?
PMI 1          : yang pertama, jauhi lereng – lereng yang curam dan pergi ketempat yang dianggap aman.
Para Warga     : ooohh… begituuu.
PMI 1          : nah, itu tadi sedikit penyuluhan dari kami, semoga bapak/ibu bisa lebih waspada terhadap bencana yang akan terjadi.



(*)Keesokan harinya, di depan rumah Anisa.
Anisa          : (melamun)
Erni             : (berdiri di ambang pintu) Wah… wah… pak, lihat anakmu ini! Pagi-pagi sudah melamun di teras rumah.
Joko            : (dari dalam rumah) Biarkan saja, bu.
Erni             : Sini pak, lihat dulu kelakuan anakmu.
Joko            : (keluar rumah sambil bergumam kesal) Memang kenapa- (kaget) Lho? Anak bapak kok melamun? (memegang bahu Anisa)
Anisa   : (tersadar) Lho? Ibu? Ayah?
Joko            : Kamu melamunin apa, nak?
Anisa          : hehe (nyengir) Anisa sedang memikirkan tanah longsor.
Joko            : kenapa tiba-tiba memikirkan itu?
Anisa          : setelah ada penyuluhan kemarin, Anisa jadi sedikit ragu mengenai tanah longsor. Saya jadi kepikiran, apa benar daerah kita ini rawan bencana longsor.
Erni             : Kamu kok bisa kepikiran begitu, sudah bertahun-tahun kita tinggal di sini dan tidak pernah terjadi longsor. Sudahlah, jangan cemaskan itu, Anisa.
Joko            : Selain itu, nak. Kita mau pindah kemana? Keluarga kita jauh, kita cuma punya tanah ini satu-satunya untuk tempat tinggal. Semoga kamu mengerti, Anisa.
Anisa          : Aku mengerti, pak, bu.
Erni             : Nah, kalau sudah mengerti, ayo bantu ibu masak!
Anisa          : baiklah, bu.

(*)Esok harinya lagi, tepat di hari Ali akan pindah rumah.
Ali               : Anisa, ini perpisahan.
Anisa          : (hendak menangis) Aku tahu. Aku pasti merindukanmu.
Ali               : Anisa, ikut saja denganku! Kau pasti aman!
Sulastri       : Ali, cepat sedikit. Travel sudah menunggu! (sambil menerima telepon dari pihak travel )
Anisa          : pergilah! Aku tak akan apa-apa tinggal di sini.
Ali               : Kuharap begitu. Sampai jumpa! (pergi)

(*) Setelah perpisahan tersebut, Anisa terus menangis. Hal tersebut membuat orangtuanya menjadi kesal.
Erni             : Berhentilah menangis! Lelaki seperti itu saja kau tangisi! (memengang bahu Anisa) Sebagai wanita kau jangan lemah! (dengan nada yang sedikit tinggi, tapi tetap terkesan lembut)
Joko            : Ibumu benar. Kau tak perlu menangisinya.
Anisa          : tapi bu-(belum sempat berkata apapun)
Erni             : Apalagi?! Kamu ini tidak sadar-sadar, ya. Sampai-sampai menangisi lelaki sombong seperti dia. Asal kamu tahu, ya, Anisa! Aku, sebagai ibumu bahkan lebih memilih mati daripada nantinya akan berbisan dengan keluarga seperti  mereka!
Anisa          : (menunduk kesal)
(tiba-tiba terdengar suara tanah jatuh)
Anisa          : (kaget)(bangkit dari duduk) Bu, suara apa itu?
Erni             : (panik) hah?!
Joko            : (sadar) Anisa, Erni, cepat lari.
Anisa          : (tidak sempat melarikan diri)(kejatuhan atap dsb) Ibu!!! Ayah!!! Tolong!!!!!!
Erni dan Joko   : (sudah keluar)

Erni             : (menangis) Pak, bagaimana ini? Anisa masih belum ditemukan.
Joko            : sudahlah, bu, kita doakan yang terbaik saja untuk Anisa. (menahan tangis)

(*) Mendengar kabar buruk yang menimpa desanya, Ali teringat akan Anisa dan segera menuju ke tempat kejadian.

Ali               : Pak Joko!! Dimana Anisa?! Apa dia selamat?!
Joko            : Nak Ali, Anisa belum ditemukan. Kami tidak tahu dia selamat atau tidak, sebaiknya kita menuju ke tempat pengungsian saja. (sedih)
(*) Kemudian Pak Joko, Bu Erni, dan Ali pergi menuju ke tempat pengungsian, sambil terus berharap yang terbaik untuk Anisa


-- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- perjalanan menuju tempat pengungsian -- -- -- -- -- -- -- -- -- --

(*) Sesampainya di tempat pengungsian, Pak Joko melihat beberapa petugas PMI menggotong seorang korban baru yang tampaknya sudah tak bernyawa.

Joko     : Tunggu, tunggu. (melihat wajah korban yang ada di tandu) Ini anak saya, mbak! (terkejut dan histeris)
Bu Erni dan Ali : (terkejut dan segera menuju ke pak joko)
Erni      : Anisa!! (histeris) bangun, nak…!
Ali        : Anisa.. jangan tinggalkan aku..
Pak Joko, Bu Erni, Ali :  ANISA!!
(- - - sad ending - - -)

TAMAT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar