Tanah Longsor
By : Rini Lusiana. Edited by : Nabilla Yashinta
Di lereng Gunung Dempo, terdapat sebuah pedesaan yang cukup ramai.
Dahulu di desa itu terdapat banyak sawah dan hutan resapan air. Namun sekarang
semua itu telah berkurang sedikit demi sedikit, mengikuti kata pepatah. Bukan
berkurang dengan sendirinya, tapi karena ada ulah tangan kejam manusia yang
menebang hutan secara berlebihan demi kepentingan duniawi tanpa melakukan
reboisasi. Jika begini, maka, yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin.
Sore itu, Siti Anisa seorang gadis polos yang berasal dari
keluarga sederhana sedang duduk berdua di depan rumahnya dengan Ali Putra yang
notabene berasal dari keluarga yang kaya di desanya.
Ali :
lihatlah anisa, semakin banyak saja bangunan villa dan café di tempat ini.
Anisa :
ya tentu, di desa ini kan sejuk, asri dan jarang tertimpa bencana, pasti para
pengusaha kaya banyak yang memanfaatkan keindahan daerah ini.
Ali : betul juga pendapatmu. Hmmm.
(menghela napas) Sepertinya kita akan
segera berpisah, Anisa.
Anisa : Lho, kenapa bicara seperti itu?
Ali : Begini, dua hari lagi aku
beserta keluarga akan pindah ke tempat yang lebih aman. Daerah sini akan jadi
daerah rawan longsor.
Anisa : Bagaimana bisa? Kita berdua sudah
tinggal di sini sejak kecil, dan selama itu belum pernah ada kejadian tanah
longsor, bukan?
Ali : Itu kan dulu. Anisa, buka
matamu! Lihat sekelilingmu! Pohon sudah banyak yang ditebang dan tanah di
lereng gunung ini sudah banyak yang gundul. Sebentar lagi musim hujan akan
tiba. Potensi terjadinya tanah longsor akan semakin besar.
Anisa : (sedih) Aku tidak bisa mempercayai
itu.
Ali : Tapi itu semua kenyataan, Anisa.
Aku mengerti perasaanmu, tapi-(belum sempat berkata apapun)
Sulastri : (menjewer telinga Ali) Ternyata kamu di
sini, ya! Dasar anak bandel! Ibu sedang sibuk mengemasi barang-barang kamu
malah pacaran di rumah orang. (nunjuk Anisa) Kamu Juga! Jangan menggoda anak
lelaki orang dong!
Anisa : Tapi kami tidak pacaran, Bu (takut)
Sulastri : Sudahlah, jangan mengelak!
Ali : Ibu jangan sembarangan nuduh.
Kami memang tidak pacaran, Bu. Kami hanya bersahabat dari kecil.
Anisa : (diam dan menunduk penuh sesal)
Sulastri : Alah.. (bersiap memaki) (belum sempat
berbicara apapun)
Erni : (keluar dari dalam rumah) Ehhh!!
Jangan seenaknya marah-marah ke anak orang dong!
Sulastri : Lha, memang anak kamu menggoda anak
saya!
Erni : Enak saja! Anak saya tidak
mungkin seperti itu. Anak kamu tuh yang seenaknya datang kemari lalu mengajak
anak saya mengobrol.
Sulastri : Susah, ya, bicara dengan orang miskin.
Sudahlah, ayo, Ali! Kita pulang!
Ali : I-iya, Bu.
(Kemudian, Ali dan Sulastri pergi)
Erni : Dasar! Kaya tapi sombong, tidak
akan berkah tuh hartanya!
(menjewer Anisa) Kamu juga, kok mau jadi pacar Ali. Sudah tahu tabiat keluarganya jelek tapi masih saja tidak mendengarkan kata-kata ibu.
(menjewer Anisa) Kamu juga, kok mau jadi pacar Ali. Sudah tahu tabiat keluarganya jelek tapi masih saja tidak mendengarkan kata-kata ibu.
Anisa : Kami tidak berpacaran, Bu. Hanya
bersahabat dari kecil. Lagipula Ali tidak seperti orangtuanya, bu. Dia baik dan
tidak sombong.
Erni : Itu kan biar bisa mengambil hati
kamu saja. Sudah, kamu masuk, gih!
Anisa : Iya, bu.
(*) Setelah
perdebatan itu, datanglah beberapa petugas PMI
PMI 1 : para warga, disini kami akan memberi
penyuluhan tentang bencana longsor yang kemungkinan terjadi di daerah ini.
Erni : ah, mana mungkin sih, mbak? Sudah
bertahun-tahun kita tinggal disini dan belum pernah terjadi tanah longsor.
Iyakan ibu-ibu?
Para Warga : iya – iya, betul itu.
Sulastri : eh sudah, sudah. Diam kamu Erni, kita
dengarkan saja penyuluhan dari mbak – mbak PMI ini.
( petugas PMI
memberi penyuluhan)
Sulastri : mbak, apa yang harus kita lakukan saat
terjadi longsor?
PMI 1 : yang pertama, jauhi lereng – lereng
yang curam dan pergi ketempat yang dianggap aman.
Para Warga : ooohh… begituuu.
PMI 1 : nah, itu tadi sedikit penyuluhan dari
kami, semoga bapak/ibu bisa lebih waspada terhadap bencana yang akan terjadi.
(*)Keesokan
harinya, di depan rumah Anisa.
Anisa : (melamun)
Erni : (berdiri di ambang pintu) Wah…
wah… pak, lihat anakmu ini! Pagi-pagi sudah melamun di teras rumah.
Joko : (dari dalam rumah) Biarkan saja,
bu.
Erni : Sini pak, lihat dulu kelakuan
anakmu.
Joko : (keluar rumah sambil bergumam
kesal) Memang kenapa- (kaget) Lho? Anak bapak kok melamun? (memegang bahu Anisa)
Anisa :
(tersadar) Lho? Ibu? Ayah?
Joko : Kamu melamunin apa, nak?
Anisa : hehe (nyengir) Anisa sedang
memikirkan tanah longsor.
Joko : kenapa tiba-tiba memikirkan itu?
Anisa : setelah ada penyuluhan kemarin,
Anisa jadi sedikit ragu mengenai tanah longsor. Saya jadi kepikiran, apa benar
daerah kita ini rawan bencana longsor.
Erni : Kamu kok bisa kepikiran begitu,
sudah bertahun-tahun kita tinggal di sini dan tidak pernah terjadi longsor.
Sudahlah, jangan cemaskan itu, Anisa.
Joko : Selain itu, nak. Kita mau pindah
kemana? Keluarga kita jauh, kita cuma punya tanah ini satu-satunya untuk tempat
tinggal. Semoga kamu mengerti, Anisa.
Anisa : Aku mengerti, pak, bu.
Erni : Nah, kalau sudah mengerti, ayo
bantu ibu masak!
Anisa : baiklah, bu.
(*)Esok harinya
lagi, tepat di hari Ali akan pindah rumah.
Ali : Anisa, ini perpisahan.
Anisa : (hendak menangis) Aku tahu. Aku
pasti merindukanmu.
Ali : Anisa, ikut saja denganku! Kau
pasti aman!
Sulastri : Ali, cepat sedikit. Travel sudah
menunggu! (sambil menerima telepon dari pihak travel )
Anisa : pergilah! Aku tak akan apa-apa
tinggal di sini.
Ali : Kuharap begitu. Sampai jumpa!
(pergi)
(*) Setelah perpisahan tersebut, Anisa
terus menangis. Hal tersebut membuat orangtuanya menjadi kesal.
Erni : Berhentilah menangis! Lelaki
seperti itu saja kau tangisi! (memengang bahu Anisa) Sebagai wanita kau jangan
lemah! (dengan nada yang sedikit tinggi, tapi tetap terkesan lembut)
Joko : Ibumu benar. Kau tak perlu
menangisinya.
Anisa : tapi bu-(belum sempat berkata
apapun)
Erni : Apalagi?! Kamu ini tidak
sadar-sadar, ya. Sampai-sampai menangisi lelaki sombong seperti dia. Asal kamu
tahu, ya, Anisa! Aku, sebagai ibumu bahkan lebih memilih mati daripada nantinya
akan berbisan dengan keluarga seperti
mereka!
Anisa : (menunduk kesal)
(tiba-tiba terdengar
suara tanah jatuh)
Anisa : (kaget)(bangkit dari duduk) Bu,
suara apa itu?
Erni : (panik) hah?!
Joko : (sadar) Anisa, Erni, cepat lari.
Anisa : (tidak sempat melarikan diri)(kejatuhan
atap dsb) Ibu!!! Ayah!!! Tolong!!!!!!
Erni dan Joko : (sudah keluar)
Erni : (menangis) Pak, bagaimana ini?
Anisa masih belum ditemukan.
Joko : sudahlah, bu, kita doakan yang
terbaik saja untuk Anisa. (menahan tangis)
(*) Mendengar
kabar buruk yang menimpa desanya, Ali teringat akan Anisa dan segera menuju ke
tempat kejadian.
Ali : Pak Joko!! Dimana Anisa?! Apa
dia selamat?!
Joko : Nak Ali, Anisa belum ditemukan.
Kami tidak tahu dia selamat atau tidak, sebaiknya kita menuju ke tempat
pengungsian saja. (sedih)
(*) Kemudian Pak
Joko, Bu Erni, dan Ali pergi menuju ke tempat pengungsian, sambil terus
berharap yang terbaik untuk Anisa
-- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- perjalanan
menuju tempat pengungsian -- -- -- -- -- -- -- -- -- --
(*) Sesampainya di tempat pengungsian,
Pak Joko melihat beberapa petugas PMI menggotong seorang korban baru yang
tampaknya sudah tak bernyawa.
Joko :
Tunggu, tunggu. (melihat wajah korban yang ada di tandu) Ini anak saya, mbak!
(terkejut dan histeris)
Bu Erni dan Ali : (terkejut dan segera
menuju ke pak joko)
Erni :
Anisa!! (histeris) bangun, nak…!
Ali :
Anisa.. jangan tinggalkan aku..
Pak Joko, Bu Erni, Ali : ANISA!!
(- - - sad ending - - -)
TAMAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar